Wednesday, March 4, 2009

Kembali Menulis

Hilangnya blog saya yang terakhir secara tiba-tiba menimbulkan 'trauma' tertentu yang menahan saya untuk aktif menulis seperti dulu. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, rasanya itu hanya pemicu dari kemalasan dan penundaan berkala untuk tidak menulis dan memposting sesuatu pada blog ini. Karena takut mubazir, yah, kayaknya saya memang harus mendorong diri saya untuk rajin menulis lagi =p

Untungnya hari ini ada topik menarik yang tiba-tiba mendorong saya untuk posting lagi. Kemarin ini saya kembali melakukan penyeimbangan otak kiri dan otak kanan saya. Sekali lagi, usaha saya berhasil (sedapat mungkin saya rutin menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri, salah satunya dengan menonton konser musik klasik). Karya-karya Joseph Haydn (1732 - 1809), Felix Mendelssohn Bartholdy (1809-1847), dan Jaya Suprana (1949 - sekarang) serta Ananda Sukarlan (1968 - sekarang) yang dimainkan dengan apik oleh Ananda sendiri sukses merangsek dan menyusupi sel-sel otak tanpa membuat jadi keblinger. Buat saya, resital piano solo tersebut benar-benar menyegarkan. Ada banyak hal yang menginspirasi selain dari musik yang dimainkan.

Pertama datang, saya mencari-cari buku program yang biasa dibagikan pada setiap konser/resital/pertunjukkan musik apapun. Ternyata tidak ada... "Habis atau tidak ada mbak?" begitu saya tanyakan pada penjaga pintu. Jawaban saya dapat ketika Ananda memberikan pengantar singkat. Menurut beliau, membuat resital seperti ini saja sudah bikin polusi dimana-mana. Karena itu, buku program, poster, selebaran, pamflet, apapun yang berhubungan dengan promosi konser selain tiket sengaja tidak dicetak agar resital ini lebih ramah lingkungan. Semua promosi dilakukan melalui e-mail ataupun facebook. Suatu ide yang sangat sangat menarik, toh berbekal promosi 'dari mulut ke mulut' tersebut, semua tiket resital kemarin laku terjual.

Saat memasuki auditorium Goethe, saya agak heran karena lain dari resital serius yang biasanya saya hadiri, kok banyak sekali anak-anak berkeliaran. Mulai anak-anak SD sampai remaja tanggung berduyun-duyun berbaris rapi masuk ruangan dan ditempatkan diatas panggung. Dan anak-anak ini bukan bertampang anak-anak keluaran sekolah swasta mahal yang seringkali diseret orangtuanya untuk nonton konser piano solo klasik. Bukan, anak-anak ini berpakaian sederhana, namun mata mereka memancarkan antusiasme. Ternyata jawaban atas keheranan saya terdapat pada pengantar Ananda yang lain lagi. Beliau dan beberapa pendiri (saya lupa nama-namanya) mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia yang antara lain kegiatannya adalah memberikan subsidi agar anak-anak tidak mampu dapat menikmati dan mendapat pendidikan musik sastra (musik klasik). Dengan subsidi dari Yayasan inilah anak-anak tersebut dengan sabar duduk di panggung bahkan ada yang duduk di lantai selama 2 jam menikmati nada-nada yang luar biasa menarik.

Waw, sungguh suatu langkah yang amat menginspirasi. Setau saya, belajar musik itu mahal, apalagi belajar musik klasik. Selain itu diperlukan ketekunan dan tekad baja untuk terjun ke musik klasik ini. Saya rasa Indonesia tak kekurangan bibit untuk menghasilkan musisi-musisi berkualitas, namun salah satu faktornya adalah kesempatan dan faktor lainnya adalah biaya. Terkekang dengan pandangan-pandangan bahwa musik klasik adalah musiknya orang kaya juga membuat orang-orang mungkin segan dan tidak mau mencoba. Padahal, saya yakin musik klasik adalah musiknya semua orang. Tentunya ini pandangan pribadi dari orang awam penikmat musik yang bukan pemusik profesional =). Walaupun cakupan Yayasan Musik Sastra Indonesia terbatas pada fasilitasi untuk musik klasik, saya rasa bukan tidak mungkin ke depannya ada yayasan-yayasan lain yang dapat memfasilitasi musik daerah, jazz atau jenis musik lainnya. Semoga Ananda dkk juga tak patah arang dalam memperjuangkan Yayasan ini.

Kemudian, yang saya rasakan dari resital kemarin adalah resital yang sangat Indonesia. Walaupun Ananda Sukarlan bukan lagi WNI, walaupun memainkan beberapa karya komponis Eropa, walaupun ada beberapa wajah WNA di resital tersebut, namun karya-karya Jaya Suprana dan Ananda Sukarlan sangat kental nuansa Indonesianya serta dimainkan dengan penuh rasa cinta untuk Indonesia. Soal teknik, saya tidak kapabel untuk mendeskripsikan. Tapi yang saya tangkap adalah seperti itu. Salut buat musisi yang selalu produktif berkarya untuk kemajuan musik Indonesia. Terlepas dari komentar-komentar penonton yang bilang bahwa : "Gila, tadi gue hampir tidur, ngantuk banget!", saya juga merasa resital ini dan pesan yang hendak disampaikan cukup mengena buat audiens. Yah, paling tidak untuk saya secara pribadi. Setidaknya, pulang nonton resital ini keinginan untuk daftar kelas music-for-fun terbit lagi. Mudah-mudahan sih tidak surut sampai Sabtu ini =p.

Wah, kok postingan ini jadi seperti mengulas resital pianonya Ananda Sukarlan ya? Padahal saya tidak bermaksud seperti itu awalnya. Harap dicatat kalaupun postingan kali ini dianggap pantas untuk ulasan sekalipun, semua yang saya tulis diatas hanya berdasarkan opini pribadi dan pandangan pribadi. Menikmati resital tentu tak bisa disamaratakan asyiknya. Apalagi tujuan orang datang juga berbeda-beda. Tapi, bukan iklan bukan promosi, saya sih merekomendasikan untuk datang kalau Ananda Sukarlan mau mengadakan resital/konser atau pertunjukkan musik apapun di Jakarta. Yaaah, sejauh ini buat saya he's rock deh =).

No comments: