Thursday, March 5, 2009

Pejabat Publik Jualan Diary

Katakan ini semangat soda,
bisa...
Katakan juga ini euforia menulis,
mungkiin..
Tapi mumpung lagi getol-getolnya, ya, lebih baik diselesaikan sajalah 'proyek menulis' ini =)

Pagi ini saya menemani seorang rekan untuk riset di salah satu departemen di Jakarta. Jalanan Kuningan - Medan Merdeka ditempuh cukup lama karena terhambat demo, entah demo apa lagi. Berbekal papan nama untuk petunjuk, kami memencet tombol lift dan naik ke divisi yang kami maksud. Bagai orang udik masuk kota, kami celingak celinguk bertanya harus ke bagian mana untuk berkonsultasi. Beberapa kali naik turun lantai, pindah kubikel demi kubikel, masuk keluar ruangan orang, bertanya dengan manis yang bahkan tidak dibalas dengan lirikan, sampai akhirnya dipertemukanlah kami dengan seorang bapak yang naga-naganya sudah mau kabur makan siang (Padahal waktu itu masih pukul sebelas lewat). Kebanyakan jawaban dari pertanyaan kami kurang lebih: "Semuanya ada di peraturan X mbak, bisa diliat disitu."

Ketika kami kejar dengan pertanyaan lebih lanjut mengenai hal teknis, sang bos di meja belakangnya serta merta berbalik dan memotong: "Kalo soal teknis, lebih baik suruh perusahaannya langsung kemari mbak, kalo soal peraturan, ke bagian hukum saja, begitu aturannya." (Lah, galak amat) pikir saya begitu. Yang ditanya juga sudah siap benar melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya hanya minta penjelasan dan konfirmasi kepada yang berwenang. Karena merasa sudah cukup mentok, pamitlah kami seraya meminta nomor kontak agar lain kali tak perlu lagi datang menemui birokrat-birokrat itu. Ternyata ditolak, ya sudah.

Tujuan selanjutnya adalah divisi hukum. Agak lebih mudah mencarinya setelah mendapat petunjuk dari satpam dan penegasan dari papan nama yang tergantung. Sampai di sana, terlihat beberapa orang duduk santai di sofa (jam menunjukkan pukul setengah dua belas kurang). Harus bersuara ekstra keras untuk menemui orang yang bisa membantu riset kami. Apakah bapak-bapak pejabat yang terhormat ini kurang mendengar, atau pendengarannya kurang, itu saya kurang mahfum.

Bapak kedua yang membantu kami pada riset kali ini awalnya tampak oke sebagai pejabat publik yang melayani rakyat. Membantu konsultan muda macam kami untuk maju katanya. Menjelaskan peraturan yang dimaksud dengan cukup komprehensif plus memberikan contoh kasus yang aplikatif bahkan beliau memfasilitasi kami dengan peraturan terkait. Sayangnya, 'fasilitas' tiga puluh enam lembar salinan peraturan yang dijilid rapi dengan lakban hitam harus ditebus dengan uang seratus ribu rupiah. Alasannya, semacam subsidi untuk membantu. Membantu apa atau membantu siapa tidak jelas. Seratus ribu itu disebutkan singkat, menutup kemungkinan tawar menawar pun penolakan. Lah, wong sudah jadi! Dari departemen yang gedungnya terletak disebelahnya dulu saya pernah mendapat salinan peraturan yang lebih tebal, bahkan di fax-kan ke kantor gratis. Jadi, asumsi saya si peraturan ini memang difasilitasi dengan gratis. Tapi sayangnya asumsi saya salah total.

Menambah keheranan saya, ketika kami meminta nomor kontak untuk konsultasi ke depan. Si bapak yang misinya melayani rakyat (katanya) ini malah menawarkan buku kerja. Buku Kerja Departemen ini nama kerennya diary atau agenda yang dalamnya berisi nomor kontak semua pejabat dan staf di Departemen ini. Menurut beliau, kami sebagai konsultan harusnya bekerjasama bila ingin maju, "ada take and givenya," yang saya interpretasikan sebagai: "tidak ada pelayanan konsultasi gratis, neng!". Kami menolak dengan halus berbekal alasan hanya bawa uang pas-pasan saja serta masih berusaha untuk mendapatkan setidaknya satu nama dari divisi tersebut. Nama tak didapat, petuah beliau makin deras. Menurut si bapak yang konon melayani semua konsultan hukum yang datang, ada 'usaha' yang harus dilakukan bila ingin menjalin hubungan. Duh, miris! Pejabat publik kok jualan agenda harian =(

Akhirnya, kamipun berpamitan sebelum beliau mulai menawarkan kalender nomor telepon atau produk departemen lainnya. Sebelum pulang, tak lupa saya minta kuitansi untuk salinan mahal itu. Agak gelagapan, beliau mengantar kami turun terlebih dahulu. Padahal saya pikir tempat fotokopinya terletak satu lantai dengan divisi hukum. Di lantai paling bawah, ia meminta kuitansi biasa dari tempat fotokopian umum, tanpa cap, tanpa kop apapun diisilah si kuitansi dan ia tanda tangani kuitansi atas namanya. Tak lupa petuah bijak soal beli agenda diulang kembali, sayang hanya kami balas dengan senyum tipis. Yah, saya hanya berharap semoga seratus ribu tersebut mendukung kesejahteraan divisi hukum departemen yang bertanggung jawab soal kelancaran.

Bagaimanapun, setidaknya PNS di departemen ini masih mau 'melayani rakyat' pada pukul setengah dua belas siang. Itu suatu prestasi loh!

1 comment:

restiariani said...

hyaaaa,,payah banget dah pejabat kita niii..